Kisah Cinta Batak dan Manado

 

Raumanen adalah gadis Manado. Sedangkan Monang adalah pria Batak. Raumanen saat itu baru mahasiswa tingkat dua ketika bertemu dengan pria flamboyan tersebut. Teman-teman Raumanen dan juga kawan Monang terus mengingatkannya agar tak terkena bujuk rayu dan jatuh cinta kepadanya. Tapi meski perasaan tersebut ditahan-tahan, akhirnya keduanya mengakui mereka saling tertarik walaupun keduanya memiliki perbedaan perangai.

Namun kemudian ternyata peringatan para teman tersebut terbukti. Ada sesuatu dalam diri Monang yang tak diketahui oleh Raumanen dan kemudian membuatnya tercabik-cabik.

Apa rahasia dalam diri Monang dan bagaimana kisah cinta Monang dan Raumanen berakhir?

Film ini memiliki latar tahun 1960-an di Jakarta. Pada masa itu baru belasan tahun Indonesia merdeka tapi rasanya Jakarta sudah  begitu maju, terutama dari pergaulannya. Muda-mudi saat itu jika membaca dari cerita ini tak asing dengan pesta-pesta, diselingi dengan kegiatan kemahasiswaan dan kongres pemuda. Latar dan situasinya seperti dalam kisah Gie, yang juga berkisar tahun 60-an.

Ya ada sisi kontras mahasiswa di sini, gemar berkumpul dan membahas hal-hal tentang organisasi, tapi di sisi lain juga gemar pesta dan dansa-dansa.

Unsur kultur tidak begitu banyak dibahas di sini. Hanya kadang-kadang ada bahasa daerah Manado dan Batak yang digunakan. Hal ini bisa jadi karena Raumanen dan Monang juga sama-sama besar di Jakarta.

Menurutku yang menonjol di sini bukan soal kultur, tapi adalah ceritanya yang mengaduk-aduk emosi. Dari awal Monang nampak bengal, liar, dan playboy. Agak mengherankan juga Manen yang manis dan kalem bisa terjebak oleh mulut manisnya. Jalan ceritanya di sepertiga bagiannya menghunjam, berbalik dan pembaca tak bisa lari menghindar.

Cerita juga semakin terasa personal karena mengambil tiga sudut pandang, sudut pandang orang ketiga, sudut pandang Manen, dan sudut pandang Monang. Ketika Manen mengeluh, pembaca seperti mendengar keluhan sahabat.

Penutup kisah ini juga tak disangka-sangka. Aku sudah pernah membaca buku ini sekian waktu lampau. Ketika membacanya lagi aku masih merasakan sensasi kejutan itu.

Gaya bahasa dalam buku ini berkesan lugas. Tak banyak bahasa berbunga-bunga. Ceritanya juga masih relevan dibaca hingga masa sekarang

Buku ini ditulis oleh Marianne Katoppo pada tahun 1975. Novel ini berhasil meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975, Hadiah Yayasan Buku Utama 1978, dan juga meraih SEA WriteAward tahun 1982. Luar biasa!

Komentar

Postingan Populer